Jumat, 20 Mei 2016

Biografi Zunnun Al Mishri


 Salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan ilmu ma’rifatnya adalah,  Zunnun Al-Misri. Nama lengkap Dzunnun Al Mishri adalah Abul Faidh Dzunnun bin Ibrahim Al Mishri Al-Ikhmimi Al-Nubi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa nama aslinya adalah Tsauban, ada juga yang mengatakan Faidh bin Ibrahim. sedangkan Dzunnun Al Mishri adalah julukannya (laqab).
Beliau berasal dari Akhtaman salah satu kota di daerah pedalaman Mesir. Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.
Selanjutnya Ia kembali lagi ke Mesir dan wafat di sana pada tahun 245H/860M. Dalam dunia tasawuf, ia dikenal sebagai bapak faham ma’rifah. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya
            Beliau adalah merupakan tokoh sufi pertama yang menonjolkan tentang teori Ma’rifat. Walaupun paham tentang Ma’rifat sudah banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi sebelum Al-Misri, tetapi dialah yang paling menekankan konsep ma’rifat pada ajaran tasawuf.
Zunnun ber-mutawatta’ dan mempelajari disiplin ilmu fiqh kepada Malik Ibn Anas, dan di bidang spritual beliau belajar pada Israfil Al-Maghribi. Dan ketika meninggal beliau dimakamkan di Pemakaman asy-Syafi’i. Konon, tatkala orang mengusung jenazahnya, muncullah sekawanan burung hijau yang memayungi jenazahnya dan seluruh pengiring jenazah dengan sayap-sayap hijau burung tersebut. Dan pada hari kedua, orang-orang menemukan tulisan pada nisan makam beliau, “Zunnun adalah kekasih Allah, diwafatkan karena Rindu” dan setiap kali ora   ng akan menghapus tulisan itu, maka muncul kembali seperti sedia kala.
            "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits ". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".
Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

B.  Pandangan Tasawuf  Zunnun Al Mishri
            Allah tidak akan pernah memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih mulia dari pada ketika dia menghinakannya atas kehinaan dirinya. Dan Allah tidak menghinakan seorang hamba dengan kehinaan yang lebih hina dari pada ketika dia menutupi dengan kehinaan dirinya. Karena hijab yang paling samar dan paling kuat adalah melihat diri sendiri. Zunnun pernah mengatakan, bahwa Neraka bukanlah sesuatu hal yang harus ditakuti, yang lebih ditakuti adalah ketika berpisah dari Kekasih Sejati. Ketakutannya tak lebih dari setetes air yang dibuang ke samudera cinta Allah.
            Zunnnun mengatakan bahwa sufi ialah orang yang tidak meminta dan tidak merasa kesusahanan karena ketiaadaan.] Beliau mengatakan bahwa akhlak seorang Arif billah adalah Allah, dan orang yang arif selalu akan bersifat seperti sifat-sifat Tuhan dan selalu menjaga perilakunya agar tidak terjebak dalam kenistaan dunia yang menghanyutkan dan menghinakan orang yang dekat kepada Allah.
            Zunnun Al Mishri dianggap sebagai seorang zindiq oleh ulama-ulama Mesir pada masanya. Karena menerangkan ilmu laduni yang tidak dikenal oleh ulama pada waktu itu. [5] Dia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu fiqih sebagai ilmu yang tidak seharusnya dipelajari karena lebih membahas masalah keduniaan.
             Secara umum, pandangan tasawuf sedikit berbeda dengan pemikiran-pemikiran tasawuf para sufi lainnya. Ada pemikiran-pemikiran yang sangat menonjol yang kemudian menjadikannya ditentang dan dianggap zindiq oleh para ulama-ulama saat itu. Sehingga ia pun di usir dari Mesir. Tetapi karena semangatnya untuk menyebarkan pandangan-pandangan tasawufnya. Dia pun menemui khalifah Mutawakkil ‘Alallah yang menjadi penguasa bani Abbassiyah pada waktu itu.
            Dia pun menjelaskan konsep tasawufnya yang menonjol yaitu tentang ma’rifat. Sang khalifah pun tertarik sehingga berkenan menjadikannya sebagai penasehat khalifah. Dan sejak itulah pemikiran tasawuf Zunnun tersebar di masyarakat.
Sebagai sufi, Zunnun Al Mishri dikenal sebagai bapak faham ma’rifat. Karena teorinya tentang ilmu tersebut sangat mencolok. Ma’rifat adalah adalah mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya. Selain konsep ma’rifat, Zunnun Al Mishri juga mengungkapkan pengalamannya tentang khauf (rasa takut kepada Allah) dan mahabbah.

C.    Pokok Ajaran Tasawuf Zunnun Al Mishri
            Pemikiran tasawuf Zunnun yang paling menonjol adalah konsep ma’rifatnya. Yaitu adalah mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya. Tatkala ia pernah ditanya bagaimana memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, Dzunnun Al Mishri menjawab, “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tak akan tahu Tuhan.”
            Dzunnun Al Mishri membagi tiga macam pengetahuan tentang Tuhan. Pertama, Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat, dan ini adalah pengetahuan awam. Kedua, Tuhan satu menurut logika akal, dan ini adalah pengetahuan ulama. Ketiga, Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari, dan inilah yang disebut pengetahuan sufi, itulah ma’rifah.
Menurut Zunnun Al-Misri, Ma’rifat atau mengenal Allah swt yang sesungguhnya adalah ma’rifat lewat hati sanubari, karena pada tingkatan syahadat dan logika itu sebenarnya bukanlah termasuk ma’rifat, tetapi itu hanya dapat digolongkan kedalam kategori ilmu saja.
1.       Ma’rifafat
            Al-Misri adalah pelopor paharn ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi—yang kemudian dianalisis Nicholson—dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fiAl-Islam; Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifatdalam bidang sufisme Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah. Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
            Kedua, menurut Al-Misri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak  azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosismeala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatanmenuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandangsebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalamtasawuf
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima kalangan teolog sehingga ía dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya dibebas Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat ma’rifat:

1)       Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaanTuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pulailinu—ilinu hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahiibalaghah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilikipara wall Allah. Hal iiui karena mereka adalah orang yang nienyaksikanAl lab dengan hatinya, sehingga terbukaia baginya apa yang tidakdibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2)      Ma’rifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengancahaya ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecualidengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga íamerasa hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa hamba,mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidahmereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat denganperbuatan Allah.

Kedua pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semuayang ada di dunia ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan,sampai akhirnya Ia sepenuhnya hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya.Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu, sedangkanpengetahuan jenis ketiga harus disebut dengan ma’rifat Dan ketiga macampengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkatauliya—lah yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapaltingkatan musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi tidak dapatmencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal untukmengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Menunut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rifat, Al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alamsemesta. Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah sebagai berikut:
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c. Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya,senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya. Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan anugerah serta karunia Allah SWT.
2.    Mahabbah
Tentang cinta ia berkata: "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah  pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya"."Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: Pecinta padaYang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yangditurunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".
3.    Akhwal dan Maqamat
Pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu At-taubah, Ash-shabr, Ai-iawakal, dan .ar-rida. DalamDairat Al-Ma’rifat Al-Islwniyat terdapat keterangan yang berasal danAl-Mishri bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan bahwajumlah maqam yang disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan penulis sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobatkhawas. Orang awam bertobat kar kelalaian (dan mengingat Tuhan). Dalamungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap sebagaikebaikan oleh Al-abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al-muqarrabin. Pandangan mi mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yangmengatakan bahwa tobat adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap miorang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut Al-Mishri membagi tobatmenjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kearifan mengingat Tuhan. Orang yang
bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.

D.    Analisa Tasawuf Zunnun Al Mishri
Setelah memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka kami akan menyampaikan sedikit tentang konsep ma’rifah Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep ma’rifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari namanya itu karena namanya itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut  manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini.
Sentral yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentralyang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah: emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan, perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta. Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.
Pada penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harusdilalui seseorang sebelum bisa ma’rifah kepada Allah SWT.
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub,adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur hati yang paling luar,  pada fase ini hatimengalami penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya masih tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka akan masuk lebih dalam lagi kepadatahapah yang kedua, yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua. Maka tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalahal-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan inimaka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar,tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yanglainnya, maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu tahapan akhir yangbisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT. Dan hal ini disebut dengan ma’rifah.
Menurut Dzun-Nun ma’rifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama, ma’rifah tauhid sebagai ma’rifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran danpembuktian akal. dan ketiga, ma’rifah para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi epistimologi, ada tiga metoda ma’rifah yang berbeda, yakni metoda transmisi, metoda akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifah awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifah Mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifah para sufi atauaulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyeksehingga ia merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya ma’rifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.

Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat ma’rifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahapd an dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan ma’rifah kepada Allah yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Ma’rifah juga sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasihsayangnya. Maka seorang hamba tidak akan sampai pada tingkat ma’rifah tanpa usaha dan anugrah serta karunia Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar