BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mendidik adalah tugas utama seorang Guru, di dalam
mendidik terdapat kriteria-kriteria tertentu dalam menentukan apakah siswa atau
siswi yang didik tersebut berhasil dalam mencapai kompetensi mata pelajaran
yang di pelajari. Dalam menentukan keberhasilan tersebut guru harus bisa
memberi penskoran dan penilaian yang adil dan obyektif kepada siswa dan
siswinya .
Setelah kita melakukan kegiatan tes terhadap siswa,
kegiatan berikutnya adalah memberikan skor pada setiap lembar jawaban siswa.
Kegiatan ini harus dilakukan dengan cermat karena menjadi dasar bagi kegiatan
pengolahan hasil tes sampai menjadi nilai prestasi. Sebelum melakukan tes,
sebaiknya Anda sudah menyusun teknik pemberian skor (penskoran). Bahkan
sebaiknya Anda sudah berpikir strategi pemberian skor sejak perumusan kalimat
pada setiap butir soal. Pada kegiatan belajar ini akan disajikan pemberian skor
pada tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan pedoman yang
telah dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah dimodifikasi. Membuat pedoman
penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian dalam tes domain
kognitif supaya subjektivitas Anda dalam memberikan skor dapat diperkecil.
Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika Anda melakukan tes domain
afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak tes belum dimulai, Anda
harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta
didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
Pada
makalah ini, kita akan mempelajari teknik pemberian skor (penskoran) dan
prosedur mengubah skor ke dalam nilai standar pada metode tes. Adapun
kompetensi yang harus Anda kuasai setelah mempelajari tehnik penskoran
ini adalah sebagai mahasiswa mampu membuat pedoman penskoran dan melakukan
analisis hasil penilaian proses dan hasil pembelajaran dengan metode tes. Oleh
sebab itu, setelah mempelajari modul ini diharapkan kita memiliki kemampuan
untuk Memberi skor pada berbagai soal metode tes.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
teknik dalam pemberian skor ?
2. Bagaimanakah
mengubah skor dengan penilaian acuan patokan ?
3. Bagaimakah
mengubah skor dengan penilaian acuan normatif ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui teknik pemberian skor
2. Untuk
mengetahui cara mengubah skor dengan penilaian acuan patokan
3. Untuk
mengetahui cara mengubah skor dengan penilaian acuan normatif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teknik
Pemberian Skor
Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses
pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai
kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil
penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Skor adalah hasil
pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angka-angka dar
setiap butir soal yang telah di jawab oleh testee dengan benar, dengan
mempertimbangkan bobot jawaban betulnya
Membuat pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama
untuk soal bentuk uraian dalam tes domain kognitif supaya subjektivitas Anda
dalam memberikan skor dapat diperkecil. Pedoman menyusun skor juga akan sangat
penting ketika Anda melakukan tes domain afektif dan psikomotor peserta didik.
Karena sejak tes belum dimulai, Anda harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap
dan pilihan tindakan dari peserta didik dalam menguasai kompetensi yang
dipersyaratkan.
1. Pemberian Skor Tes pada Domain Kognitif
a. Penskoran Soal
Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran
tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama penskoran tanpa ada
koreksi jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan penskoran dengan butir beda
bobot.
1) Penskoran tanpa
koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal yang dijawab benar
mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal), sehingga jumlah skor
yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung banyaknya butir soal yang
dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
Skor
= x 100 (skala 0-100)
B = banyaknya butir
yang dijawab benar
N = adalah
banyaknya butir soal
Contohnya
adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal
tes ada 50 butir, Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi
adalah:
Skor
= x 100
= 50
2) Penskoran ada
koreksi jawaban yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada butir
soal yang dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya sebagai berikut.
Skor
= x 100
B = banyaknya
butir soal yang dijawab benar
S = banyaknya
butir yang dijawab salah
P = banyaknya
pilihan jawaban tiap butir
N = banyaknya
butir soal
Butir soal yang
tidak dijawab diberi skor 0
Contoh :
Pada soal
bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap
butir dan banyaknya 40 butir, Amir dapat menjawab benar 20 butir, mejawab salah
12 butir, dan tidak dijawab ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:
Skor
= x 100
= 40
3) Penskoran
dengan butir beda bobot yaitu pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda
pada sekelompok butir soal. Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan
tingkatan kognitif (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi) yang telah dikontrak guru. Anda juga dapat membedakan bobot butir
soal dengan cara lain, misalnya ada sekelompok butir soal yang dikembangkan
dari buku pegangan guru dan sekelompok yang lain dari luar buku pegangan diberi
bobot berbeda, yang pertama satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai
berikut.
Skor
= x 100
Bi = banyaknya
butir soal yang dijawab benar peserta tes
bi = bobot setiap
butir soal
St = skor teoritis
(skor bila menjawab benar semua butir soal)
Contoh:
Pada suatu soal
tes matapelajaran IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain
kognitif diberi bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2,
penerapan 3, analisis 4, sintesis 5, dan evaluasi 6.
Yoyok dapat
menjawab benar 8 butir soal domain pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20
butir soal pehamanan, 2 butir soal penerapan dari 4 butir, 1 butir soal
analisis dari 2 butir, dan 1 butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing
1butir. Berapakah skor yang diperoleh Yoyok?
Untuk
mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai berikut.
Tabel 6.1.
Contoh Pemberian Skor
Domain butir
soal
|
Jumlah butir
|
bi
|
Jumlah butir
x bi
|
Bi
|
Pengetahuan
|
12
|
1
|
12
|
8
|
Pemahaman
|
20
|
2
|
40
|
12
|
Penerapan
|
4
|
3
|
12
|
2
|
Analisis
|
2
|
4
|
8
|
1
|
Sintesis
|
1
|
5
|
5
|
1
|
Evaluasi
|
1
|
6
|
6
|
1
|
Jumlah =
|
40
|
-
|
St =
83
|
25
|
Skor = x
100
= 63.9
Jadi, skor yang
diperoleh Yoyok adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran
IPA sebesar 63,9%
Pada bentuk
soal uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai
indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman
penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana langkahlangkah
mengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik dalam lembar
jawabannya. Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya Anda melihat kembali
rencana kegiatan pembelajaran untuk mengidentifikasi indikator-indikator tersebut.
Perhatikan
contoh berikut.
Indikator :
peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan
ukurannya.
Butir
soal:Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm,
dan tinggi 75 cm. Berapa literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya
tuliskan langkah-langkahnya!)
Tabel 6.2.
Pedoman penskoran uraian objektif
Langkah
|
Kunci jawaban
|
Skor
|
1
2
3
4
5
|
Isi balok = panjang x lebar x tinggi
= 150cm x 80cm x 75cm
= 900.000 cm3
Isi bak mandi dalam liter
= liter
= 900 liter
|
1
1
1
1
1
|
Skor maksimum
|
5
|
c. Penskoran Soal
Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip
penskoran soal bentuk uraian non-objektif sama dengan bentuk uraian objektif
yaitu menentukan indikator kompetensinya. Perhatikan contoh berikut.
Indikator:
peserta didik dapat mendeskripsikan alasan Warga Negara Indonesia bangga
menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal:
tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman
penskoran:
bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi
dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Tabel 6.3.
Contoh Pedoman Penskoran
Kriteria
jawaban
|
Rentang skor
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia
|
0 - 2
|
Kebanggaan yang
berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia
(pemandangan
alamnya, geografisnya, dll)
|
0 - 2
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, suku, adat, istiadat tetapi
tetap bersatu.
|
0 - 2
|
Kebanggaan
yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat Indonesia
|
0 - 2
|
Skor
tertinggi
|
8
|
d. Pembobotan Soal
Bentuk Campuran
Dalam beberapa
situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan bentuk
uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan
oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang
terlibat dalam mengerjakan soal.
Pada umumnya
cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir
yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan
lebih tinggi. Suatu ulangan terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal
uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian
adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2
soal uraian, maka peserta didik itu mendapat skor:
Skor = b1 + b2
b1 = bobot soal 1
b2 = bobot soal 2
Contoh:
Suatu ulangan
terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk
uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4
butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40.
Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang
diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut.
a. skor pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan :
(16/20)x100 = 80
b. skor bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62
2. Pemberian Skor Tes pada Domain Afektif
Domain afektif
ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Paling tidak ada dua
komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat
terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif
bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua
mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau
mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa
diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak
berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, Anda
memiliki tugas untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta
didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian akan terjadi
usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Langkah
pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a. Pilih ranah
afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b. Tentukan
indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu
mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya
ditanyakan pada peserta didik.
c. Pilih tipe
skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat,
berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah
instrumen oleh sejawat.
e. Perbaiki
instrumen.
f. Siapkan
kuesioner atau inventori laporan diri.
g. Skor inventori.
h. Analisis hasil
inventori skala minat dan skala sikap.
Contoh:
Instrumen untuk
mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika
rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta
didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10
x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi
menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21 sampai 30
kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.
3. Pemberian Skor Tes pada Domain
Psikomotor
a. Penyusunan Tes
Psikomotor
Kinerja
(performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta
dkk. (1981) dalam Majid (2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes dentifikasi,
tesimulasi, dan tes unjuk kerja. Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek
yang jumlahnya sedikit.
Perbuatan yang
diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak
sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala 5, maka skala 1paling tidak
sempurna dan skala 5 paling sempurna.Misal dilakukan pengukuran terhadap
keterampilan peserta didik menggunakan thermometer badan. Untuk itu dicari
indikator-indikator apa saja yang menunjukkan peserta didik terampil menggunakan
thermometer tersebut, misal indikator-indikator sebagai berikut:
1. Cara
mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2. Cara menurunkan
posisi air raksa serendah-rendahnya.
3. Cara memasang
termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4. Lama waktu
pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5. Cara mengambil
termometer dari tubuh orang yang diukur suhunya.
6. Cara membaca
tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.
Dari contoh
cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal yang
dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1
peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir
2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh
skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3
berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir
6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai
peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22. Seorang peserta
didik yang gagalakan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan
sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18.[3]
Jika
dibagimenjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12 dinyatakan gagal,
skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan berhasil, dan
skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik dengan
skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya
baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai
dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh
skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan kategori sempurna.
B. Mengubah Skor
dengan Penilaian Acuan Patokan
Penilaian Acuan Patokan (criterion referenced evaluation)
yang dikenal juga dengan standar mutlak berusaha menafsirkan hasil tes yang
diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan.
Sebelum hasil tes diperoleh atau bahkan sebelum kegiatan pengajaran dilakukan,
patokan yang akan dipergunakan untuk menentukan kelulusan harus sudah
ditetapkan.[4]
Standar atau patokan tersebut memuat ketentuan-ketentuan
yang dipergunakan sebagai batas-batas penentuan kelulusan testee atau batas
pemberian nilai pada testee. Jika skor yang diperoleh oleh testee memenuhi
batas minimal maka testee dinyatakan telah memenuhi tingkat penguasaan minimal
terhadap materi yang disampaikan dan sebaliknya jika testee belum bisa memenuhi
batas minimal yang ditentukan maka testee dianggap belum “lulus” atau belum
menguasai materi. Karena batasan-batasan tersebut bersifat mutlak/ pasti maka
hasil yang diperoleh tidak dapat di tawar lagi.
Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak,
banyaknya testee yang memperoleh nilai tinggi atau jumlah kelulusan testee
banyak akan mencerminkan penguasaannya terhadap materi yang disampaikan.
Pengolahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
sebagai berikut :
a) Menggabungkan skor dari berbagai sumber
penilaian untuk memperolah skor akhir.
b) Menghitung skor minimum penguasaan tuntas dengan
menerapkan prosentase Batas Minimal Penguasaan (BMP).
c) Menentukan tabel konversi
C. Mengubah Skor
dengan Penilaian Acuan Normatif
Penilaian Acuan Norma (Norm Referenced Evaluation)
dikenal pula dengan Standar Relatif atau Norma Kelompok. Pendekatan penilaian
ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh testee dengan membandingkan dengan hasil
tes dari testee lain dalam kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang menjadi
dasar standar kelulusan dan pemberian nilai ditentukan[5]
berdasarkan skor yang diperoleh testee dalam satu kelompok. Dengan demikian,
standar kelulusan baru daat ditentukan setelah diperoleh skor dari para peserta
testee.
Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang.
Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang.
Pengolahan skor dengan Penilaian Acuan Norma
(PAN) mengharuskan kita menghitung dengan statistik. Perhitungan dilakukan atas
skor akhir (penggabungan berbagai sumber skor), Kelemahan sistem PAN
adalah dengan tes apapun dalam kelompok apapun dan dengan dasar prestasi yang
bagaimanapun, pemberian nilai dengan sistem ini selalu dapat dilakukan. Karena
itu penggunaan sistem PAN dapat dilakukan dengan baik apabila memenuhi syarat
yang mendasari kurva normal, yaitu :
a) Skor nilai terpencar atau dapat
dianggap terpencar sesuai dengan pencaran kurva normal
b) Jumlah yang dinilai minimal 50 orang atau sebaiknya 100
orang ke atas.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen
menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban
terhadap item dalam instrumen. Dalam pemberian skor tes ada 3 jenis domain yang
dinilai yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Untuk menginterpretasikan suatu skor menjadi nilai atau
mengolah skor menjadi nilai diperlukan suatu acuan atau pedoman. Terdapat dua
acuan guna menafsirkan skor menjadi nilai. Kedua pendekatan ini memiliki
tujuan, proses, standard an juga akan menghasilkan nilai yang berbeda. Karena
itulah pemilihan dengan tepat pendekatan yang akan digunakan menjadi penting.
Kedua pendekatan tersebut adalah criterion-referenced atau Pendekatan
Acuan Patokan (PAP) dan norms-referenced atau Pendekatan Acuan Norma
(PAN)
B. Saran
Pemberian skor dilakukan untuk mengetahui skor yang
diperoleh siswa setelah dilakukan tes hasil belajar yang bertujuan untuk
menyaring, seperti tes seleksi. Pendidik sebaiknya mengetahui berbagai macam
teknik dalam pemeriksaan hasil tes, pemberian skor, dan mengolah serta merubah
skor menjadi nilai sehingga akan mempermudah pekerjaan apabila memilih teknik
yang sesuai dengan situasi dan kondisi baik dari segi feasibilitas, sarana dan
prasarana, dan sebagainya. sehingga dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi
pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Depdiknas. (2006). Panduan Penilaian Berbasis Kelas.
Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. (2004). Panduan Analsis Penilaian Hasil Belajar.
Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim Muslimin. (2003). Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan
Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi. Direktorat
Pendidikan
Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
Majid, Abdul. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT.
Remaja
Rosdakarya.
Sudijono Anas. (2006). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Persada.
[4]
Depdiknas. (2004). Panduan
Analsis Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Depdiknas. Hal.41
[5]
Ibrahim
Muslimin. (2003). Asesmen Alternatif. Bahan Pelatihan Terintegrasi
Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Biologi. Direktorat
Pendidikan
Lanjutan Pertama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Jakarta: Depdiknas.